SAJAK RIFQI
ASRAR
TELUR NABI NUH
Ia menetaskan
semua telur itu. Telur yang cangkangnya
cangkang tuhan.
Tempat sembunyi segala ruang
dan waktu yang
menyerupai bui. Sedalam inikah bumi,
berputar dengan
sasar kuning telur, kuning bercak dalam inti
yang mumur, yang
hancur repih. Tapi ia,
merapihkannya
kembali
Satu, satu, ia
pilih dan benarkan. Ia pasang
mana kuning mana
putih mana cangkang
dan mana
warna-warna yang mirip
dengan manusia.
Orang-orang berkata
tak pernah ada.
Mereka menerka
warna manusia
itu, lebih mirip warna kuning.
Kuning tai dalam
perahu itu misalnya.
Mereka pun
menggorengnya.
Lalu memakannya.
Dan dari perut mereka
Keluar kuning
lain yang tercecar dalam perahu.
Jember, 2012.
PELAJARAN SEJARAH
Tepat di titik
ini, wajah kami selalu sembunyi ke arah belakang. Kami berharap,
kepala yang
tercecer ini dapat kembali, dan kami pasangkan
di bentuk
semula. Sehingga satu-dua ingatan yang hilang di belakang
dapat kupulung
untuk menambal jalan-jalan bolong
dan membawa kami
menuju pulang.
Di titik ini,
kami alfabeta yang tersusun di buku. Seperti teka-teki,
disampaikan oleh
kepala yang berbeda. Kepalaku bulat bola,
tanpa rambut
seumpama batok kelapa. Kepalamu akar serabut,
menjulur dalam
tanah, sampai tumbuh batang dan rantingnya.
kepala kami
saling berbeda. Mata dan lidah kami pun tak sama.
Sehingga, kami
memilih sembunyi dari debat. Sebab,
kepala yang
tercecar di tikungan ini belum terpasang.
Kepala dan badan
kami masih sungsang. Dan wajah ini,
Selalu terbalik
ke belakang.
Begitulah
mengapa kami selalu belajar. Membaca buku,
membaca arah,
mencari setiap belokan bercabang
menghindar dari
lubang. Sampai,
nilai kami
betul-betul tuntas
di soal ujian
mengingat tahun depan.
Surabaya, 2012
PELAJARAN MENGGAMBAR
Setiap tiba di
jalan ini, kami garis tipis dengan lengkung tak tajam dan tubuh kami selalu
berdarah. Berwarna merah tua seperti strowberi. Tapi kami kerap oleng di
turunan paling bawah, di tikungan paling tajam yang tajamnya mirip pisau. Maka
jangan marah jika di jalan ini tubuhmu terluka. Ia melukaimu dengan sayatan
tipis di kulit tanpa tameng. Di dahimu mengucur darah kental, menetes di
jalanan yang tertinggal menjauh. Ibarat sumur, ia menguji seberapa dalam dan
banyakkah sumber di kedalaman paling rahasia.
Setiap tiba di
jalan ini, kami sering terperosok ke jurang. Sehabis mendaki ke atas dan turun
ke bawah ada lengkung licin dari batu-batu yang berlumut. Jika terjatuh,
tubuhmu koyak di lubuk paling palung, tempat bertemu semua arah dan arus. Ini
jalan rahasia, jangan ceroboh dan gegabah, kerna di tiap terjalnya muslihat
kerap menipu mata.
Di jalan ini,
kami belajar menggambar hati. Bukan bulat juga persegi. Tapi, memanglah kami
musti bertemu di satu jurang yang pasti. Kerna setiap kami berada di arah tak
sama, di arus yang berbeda. Kami musti terluka di tikungan paling bawah, yang
tajamnya seperti pisau. Kami musti mendaki ke bagian paling atas -jalan
rahasia- yang licin berjurang. Agar setiap kami dapat bertemu di satu pusaran,
dan kami pun menyatu.
Surabaya, 2012
SAJAK HABIL EBI SUMARWA
NGUSAR
Laku
ini
seperti
membaca
kembali
kenangan
Yang
mulai karat dalam
tubuhmu.
Menumpuk
daun yang runtuh
dari
tempat
tidur
sejarah
Lalu
membakar
setiap
niat-niat yang tak
enak
dipandang.
Sebut
saja, ini
hati yang kami imani
Dengan
sapu
lidi. Yang perlahan
menjadi
bunyi. Lalu
pada
puisi
Yang
terus
menari. Kau
melihat
seperti
tak
ada lain yang sebenarnya,
Kecuali
pada yang runduk, yang
mendekat, dan yang makrifat.
Sebab
jika
kau
tahu
Setiap
daun
adalah
dzikir yang kami tasbihkan.
KECAMBA
Kita semalam mengunyah kesunyian
Antara pandar dan rendam saat hijau
Di pagi kit berekor, buncit memutih
Setelah disemai kedinginan
Lalu kita di buang pada setiap mangkoko
Dan mengambang, berenang di atas kuah hangat
Disantapnya oleh guan lain
Hingga lendir semacam melumuri
Kita bertanya dari takdirku, bukan.
Aku memang harus di akhiri dijalan-jalan
Atau kita justru dari ketakutan
Dalam suara pasar yang mengecil
Atas rasa sederhana, di temani ketupat
Kita di percantik pada malam jum’at
MENGAJI LAUT
Laut
itu
adalah
berita
dari
perang
Tentang
gelombang yang berkejaran
Mengajarkan
bunyi
ajal, jerit
nasib
dan
takdir yang
dibirukan
Maka
sesekali
mendayunglah
ke
dadanya
Apabila
debur
tak
lagi di batin
dan
puisi-puisi
tak
lagi
asin
mampirlah,
rebahkan kepalamu di atas
perahuku,
kita
menyanyi “olleolang”
sambil
menari
hingga
tenggelam.
Jika
hati
dan
tubuh
sudah
kita
garami
Maut
bukanlah
apa-apa
dan
sampan-sampan
akan
segera
sandar
sekali
sapa
lalu, kita
menjadi yang ingin
sekali
merasakan yang tiada.
Surabaya.
SAJAK LUBED TENGAH
PEREMPUAN
DI ARES TENGAH[1]
Kusediakan perahu kertas di tepi waktu
agar kau gampang berlayar ke tubuhku
mumpung langit lagi kering
dan ombak masih tenang
bercakap-cakap dengan ikan
jangan takut
pungutlah jalan yang membentang di matamu
Aku tak memaksa membawamu
pada muara keabadian
tapi jangan menyesal, bila
kelak aku pergi
dan namamu tak jadi aku susun
dari jari-jari yang sempurna
Bila ingat engkau
merangkai rute-rute semalam suntuk
bulu kudukku bangun tiba-tiba
sambil berkata “aku tak ingin
bila sekejap ini patah saat melangkah
sedang matahari masih pagi
menembus cela-cela daunan yang
begitu setia menemani kau”
Sekarang, masuklah
dalam tubuhku dalam-dalam
Surabaya, 2012
SKAK!
Sudah lama aku menatap wajahmu, tuan
tapi kesengsaraan menyebut namamu
sudah tidak bisa dipungkiri lagi
berkali-kali kubuatkan semacam kiasan
tapi tak pernah ada yang pas:
dari matahari yang bersender di kursi ruang tamu
sambil memangku wajahnya
atau rembulan rebah di meja makan
di sekeliling hidangan
lilin menyala mengembalikan ingatan
Memang sulit menggambar tubuhmu
dengan warna beragam
seperti garis jalan permainan catur
yang sesekali terdengar suara sekak
lalu timbul kepanikan-kepanikan dari lawan main
dengan jalan pion yang tertatih-tatih
Maka kemarilah, tuan
duduk bersamaku
di atas bangku kayu jati
sambil bermain tebak-tebakan
dengan pertanyaan yang tak begitu rumit
Setapak demi setapak
waktu makin lama memutari jalan kita:
aku ingin menyekak kakimu dengan kuda jantan
agar terbuka rahasia yang selama ini dipendam
aku ingin menyekak kelaminmu
dengan peluncur yang runcing
supaya tahu arah jalan mana
yang bisa ditembus sampai paling kecil
aku ingin menyekak dadamu dengan benteng yang licin
biar segalanya runtuh pertahanan-pertahananmu
aku ingin menyekak kepalamu dengan setir yang gagah
untuk tidak bisa berbuat apa-apa
Lalu aku ingin menyecap airmata
dari kesalahanmu, tuan
Surabaya, 2013
TEMANTEN
I.Q
Sebuah tangga yang dulu kau peluk
lebur dalam musim tangis
mengalir ke sela-sela jemariku
dengan warna bulan yang kau rindu
Dan kini engkau tersekap
di bawah lembar janur kuning
yang baunya sebatas cuma
padahal tinggal sejengkal
memulangkan kembali
ke asal mimpimu
Aku melihat airmata satu-satu
menetas dari tungku penyesalan
bersama gemuruh angin yang datang
dari sudut-sudut rumahmu
membawa kabar baru
yang tak sedih aku tunggu
Surabaya, 2012
SAJAK
MUHTAROL FAQIH
Setelah Rumah Hangus
jangan berangkat dulu
Sebelum kau hidangkan semangkok tai.
Di dapur orang-orang sibuk mempertebal kumisnya.
Baru seminggu kakekmu meninggalkan rumah
Air yang telah ia dinginkan, mendidih lagi
Bahkan terjadi kebakaran tadi malam
Seperti kutukan seekor senapan.
Wajahmu sangat cantik
make up dan pembalut, aduk dengan darammu
Rumah ini hangus, seperti toilet penuh penitipan
seperma.
Di
atas meja itu, di antara lilin dan sendok
Berhelai
uban dan kelamin. Rontok .
Satu jam kemudian, kau kehilangan pintu
Ketika kursi berteriak-teriak dalam pikiranmu
Surabaya
KEKASIHKU
TAK BISA TIDUR
Kekasihku tak bisa tidur. Matanya dipenuhi jalan
sempit.
Ia berharap tak ada yang benar-benar datang. Meski
sisa hujan
Masih menakutkan, Ia hati-hati melangkah, dan
berkata: para daun,
Sebelum angin memaksamu ke laut, lalu kau bermimpi
menjadi ikan;
nelayan menangkapmu, kemudian menggorengmu sore hari
Kau terhidang bersama sambel, kuah yang terlalu asin
dan nasi sisa
pagi hari, di meja makan. Perut terasa kenyang. Kau
pun diantar ke liang
kakus. Maka gugurlah dengan keyakinanmu sendiri.
Wahai kekasihku, Sesungguhnya yang berjatuhan di
jalan itu
hanyalah tetes air, matahari akan menghapusnya
sebentar lagi
dan tak ada benih akan tumbuh.
OH,
AKU MULAI CEMBURU
Lihat, matahari di atas punggung perempuan itu
seperti mataku yang hati-hati melirik kecantikanmu,
pelan-pelan berjalan. Oh, rupanya kau tak sadar akan
hal itu.
Pun karena jari-jarimu bertingkah nakal ke celah
kutang, maka
kau sudah mulai berani membuatku cemburu. Baiklah,
sebaiknya aku berlayar. Akan aku tempuh seberapa
jauh jarak
tepimu menghantuiku atau menyelam sedalam perutmu
hingga
matahari tak kulihat lagi. Dari daun-daun dan
batang-batang pohon,
seperti aku merangkai puisi, bentuk dan isi aku
sucikan dahulu sebelum
tubuh dan ruh melawan segala arus kenakalanmu. Eh,
tunggu. Ia meredup.
Perempuan itu bergeliat. Tapi kenapa kau tampak
gelisah. Dan angin pun
gelisah. Seperti pengantin tak berbuah, daun-daun
beserta ranting-ranting
jatuh. Aku mengintipmu dari balik cela batu-batu.
merah. Darah?. aduh,
siapa lagi yang terlentang di atas perutmu itu, si
nuh?, tidak mungkin,
karena ia masih berdoa untuk anaknya. Urat
tangan-tanganmu mengeras.
Di mana perempuan itu?. Mataku samar-samar
melihatmu. Dingin
Menjalar, seperti mencari jalan paling rahasia, di
antara lobang-lobang
Paling gelap. Ah, begitu dingin.
2013
SAJAK
KHALIL TIRTA SEGARA
TEMBANG
BULAN TUA
Di bulan tua aku menemukan masa silam meringkuk
dalam gerai hujan
Memeluk angin yang tersedu. Nama-nama serta
tanda-tanda yang lamur
Berhamburan dari jendela kamar lalu kujilat dengan
ujung lidah
Rasanya pahit sementara suaraku terbata-bata
dikuping malam
“pandulune ki
pujangga durung kemput
Mulur
lir benang tinarik
Nanging
kaseranging ngomor
Andungkap
kasidan jati
Mulih
mring jatining enggon” bisik Ronggowarshito dalam tembang
Mengapa hujan tak segera reda, bila degup dada
tersekap luka
Mengapa hujan terus bernyanyi, bila yang pergi tak
pernah lenyap
Kuingat-ingat, kutimang-timang
Segala yang pernah terlihat dan tak terlihat lagi
menjelma mumi dalam kepala
Sekuntum mawar kuning dipatahkan angin dari
tangkainya
Seperti menyeret aroma katiadaan pada musim-musim
tanggal
O semerbak hujan Desember! Tangan siapa yang
menjahit langit robek
Dari dusta angka-angka penanggalan. Sungguh! pada
saatnya akan tiba
Di mana orang-orang tidak sibuk lagi mengucap
selamat tahun baru
Melupakan kelahiran bayi, memadamkan lilin-lilin
yang menyala
Di atas meja dalam pesta-pesta ulang tahun.
Juga pada saatnya akan tiba di mana orang-orang
ketakutan
Menyentuh kulitnya yang keriput lalu menukar birahi
dengan jalan penyerahan
O betapa pendek kaki hari dilumpuhkan matahari!
yang mendaur degup pada yang tak pasti
Dan puisi dalam sunyi telah mengamini kefanaan
Para pengembara yang selalu berdebat;
Apakah waktu bertelur atau berpinak?
Apakah waktu memanjang atau melingkar?
“Tambe
ngareh tambe ngomor. Dhaun tombu deun gagghar
Oban
tombu ngolok pateh. Seang are du ma` seang malem
peng
malate tombu e koburan, bila enga` ka sesettong. Duh
Dimma
bara` dimma temor ngaleh somor dalam badhan
Samogha`a
nemmo jhalan.
Lanjhang
omor lanjhang partobhatan”
Dengan rendah hati kuucapkan kepada hujan di bulan
tua:
Selamat tinggal bulan-bulan buntung!
Selamat datang bulan-bulan tunggang!
Air tetap meleleh di antara daun-daun yang akan
gugur ke haribaan tanah
Kenangan dan keterasingan juga meleleh di hatiku
yang limbur
Menuju esok yang sunyi terang.
Surabaya
9
desember 2013
BIRUNG*
Jalan kita akan memutar
Di antara garis kurva
Dalam lingkaran
Pertemuan akan lebih terbuka
Tanpa sudut
Sebutkan nama kita satu persatu di badan yang
berkubang
Sebelum nama-nama menjelma setumpuk debu
“Namaku tanah, namaku api, namaku air, namaku angin,
namaku batu, namaku kayu, namaku belerang, namaku
garam,
namaku kerikil”
Memang sejak lahir kita berjarak dari nama-nama
Bolehkah kita melebur dalam satuan lubang
Anasir-anasir yang menunggal
Orang-orang yang hendak tahu menggali badan kita
dengan rajang
Lalu setiap malam menyusunnya dari tanah liat dan
warna peluh
Siang hari yang garang
Lelaki- lelaki
kekar lahir dari gunung memikul batu gerigi
Perempuan-perempuan penyabar lahir dari hutan
menumpuk kayu bakar
“Susunlah batu-batu gunung di badanku serupa
piramida,
pelan-pelan masukkan kayu bakar seukuran mulutku
lempar setengah karung garam, setengah karung
belerang
karena angin selalu datang dari tiap-tiap arah
Memancing api ke permukaan. ”
Bagaimana mungkin tegak tanpa berdiri
Dari ukuran ruangannya masing-masing
Tubuh bundar kita menjadi saksi kerikil menyangga
batu-batu besar
Pertemuan ini seperti menyibak misteri seonggok negeri
Yang tak kunjung bisa menyusun rumahnya sendiri
Lalu api bertemu kayu dalam gundukan
Asap hitam mencari kelebat bayang-bayang langit
Gaung-gaung api menarikan lagu badai
Tunggu sampai sehari semalam
Batu-batu yang tersusun akan segera matang
Di dalamnya angin dan air menggumpal
Puncak batu kembali debu
Seperti tubuh yang bakal mengabu
Surabaya
09 November 2012
*birung:
batu gamping atau pembakaran batu.
ADU
MERPATI
Ke perempatan jalan kecil
Kau menuju sore dan merpati
Yang mengepak-ngepakkan sayap ketika kentungan besi
dipukul
Terdengarlah bunyi—kabar bagi yang akan terbang
melesat
Sebatas deru nafas sejauh jarak usia berserah
Memang dari semula kita pahami bumi suatu gelanggang
Bermain dan ber-adu. Pertaruhan dan mempertaruhkan!
Sementara siapa yang bakal memenangi pertandingan
Sebelum sore benar-benar mampus dicabik-cabik gelap?
Seekor merpati kesayangan yang pernah kau cium
keningnya
Bakal kau lepas bagi musuh-musuh serta dendam yang
menjalar
Dan kau menunggunya dengan dada harap-harap cemas
Bila sepakat sang pelepas segera memanjat genting
rumah kusam
Sambil menggenggam merpati di tangan kanan di tangan
kiri
Lalu melepaskannya ke udara membiarkan pergi untuk
pulang ke sarang.
Yang cepat pulang akan membuat si tuan penaruh
menepuk-nepuk dada.
Terbanglah merpati! Terbang secepat nafas
masuk-keluar!
Kembalilah merpati! kembali ke dalam dirimu sendiri!
Memeluk angin basah yang bakal menghambur dari perut
senja
Kembali besi dipukul-pukul dengan jumawa—ketika
seekor merpati menepi
Ke sarangnya membawa surat bagi si kalah atau si menang
Seketika semua kembali pada bunyi—dari hingar sorak
menuju pelan
Petang sunyi yang menuntun kedua mata, mulut,
telinga, dan hatimu
Membawa arti kekalahan dari langit yang
berkerut
Diam-diam malam merasuk dada. Terdengarlah detak
hening!
Siapa yang terhempas dalam pertaruhan
Dalam tubuh tak terkalahkan?
Surabaya,
15, Desember, 2013