Kamis, 02 Januari 2014

SAJAK SAJAK KOMUNITAS TIKAR MERAH



SAJAK RIFQI ASRAR

TELUR NABI NUH

Ia menetaskan semua telur itu. Telur yang cangkangnya
cangkang tuhan. Tempat sembunyi segala ruang
dan waktu yang menyerupai bui. Sedalam inikah bumi,
berputar dengan sasar kuning telur, kuning bercak dalam inti
yang mumur, yang hancur repih. Tapi ia,
merapihkannya kembali
Satu, satu, ia pilih dan benarkan. Ia pasang
mana kuning mana putih mana cangkang
dan mana warna-warna yang mirip
dengan manusia. Orang-orang berkata
tak pernah ada. Mereka menerka
warna manusia itu, lebih mirip warna kuning.
Kuning tai dalam perahu itu misalnya.
Mereka pun menggorengnya.
Lalu memakannya. Dan dari perut mereka
Keluar kuning lain yang tercecar dalam perahu.

Jember, 2012.


PELAJARAN SEJARAH

Tepat di titik ini, wajah kami selalu sembunyi ke arah belakang. Kami berharap,
kepala yang tercecer ini dapat kembali, dan kami pasangkan
di bentuk semula. Sehingga satu-dua ingatan yang hilang di belakang
dapat kupulung untuk menambal jalan-jalan bolong
dan membawa kami menuju pulang.

Di titik ini, kami alfabeta yang tersusun di buku. Seperti teka-teki,
disampaikan oleh kepala yang berbeda. Kepalaku bulat bola,
tanpa rambut seumpama batok kelapa. Kepalamu akar serabut,
menjulur dalam tanah, sampai tumbuh batang dan rantingnya.

kepala kami saling berbeda. Mata dan lidah kami pun tak sama.

Sehingga, kami memilih sembunyi dari debat. Sebab,
kepala yang tercecar di tikungan ini belum terpasang.
Kepala dan badan kami masih sungsang. Dan wajah ini,
Selalu terbalik ke belakang.

Begitulah mengapa kami selalu belajar. Membaca buku,
membaca arah, mencari setiap belokan bercabang
menghindar dari lubang. Sampai,
nilai kami betul-betul tuntas
di soal ujian mengingat tahun depan.

Surabaya, 2012


PELAJARAN MENGGAMBAR

Setiap tiba di jalan ini, kami garis tipis dengan lengkung tak tajam dan tubuh kami selalu berdarah. Berwarna merah tua seperti strowberi. Tapi kami kerap oleng di turunan paling bawah, di tikungan paling tajam yang tajamnya mirip pisau. Maka jangan marah jika di jalan ini tubuhmu terluka. Ia melukaimu dengan sayatan tipis di kulit tanpa tameng. Di dahimu mengucur darah kental, menetes di jalanan yang tertinggal menjauh. Ibarat sumur, ia menguji seberapa dalam dan banyakkah sumber di kedalaman paling rahasia.

Setiap tiba di jalan ini, kami sering terperosok ke jurang. Sehabis mendaki ke atas dan turun ke bawah ada lengkung licin dari batu-batu yang berlumut. Jika terjatuh, tubuhmu koyak di lubuk paling palung, tempat bertemu semua arah dan arus. Ini jalan rahasia, jangan ceroboh dan gegabah, kerna di tiap terjalnya muslihat kerap menipu mata.

Di jalan ini, kami belajar menggambar hati. Bukan bulat juga persegi. Tapi, memanglah kami musti bertemu di satu jurang yang pasti. Kerna setiap kami berada di arah tak sama, di arus yang berbeda. Kami musti terluka di tikungan paling bawah, yang tajamnya seperti pisau. Kami musti mendaki ke bagian paling atas -jalan rahasia- yang licin berjurang. Agar setiap kami dapat bertemu di satu pusaran, dan kami pun menyatu.

Surabaya, 2012




SAJAK HABIL EBI SUMARWA

NGUSAR

Laku ini seperti membaca kembali kenangan
Yang mulai karat dalam tubuhmu.

Menumpuk daun yang runtuh dari tempat tidur sejarah
Lalu membakar setiap niat-niat yang tak enak dipandang.

Sebut saja, ini hati yang kami imani
Dengan sapu lidi. Yang perlahan menjadi bunyi. Lalu pada puisi

Yang terus menari. Kau melihat seperti tak ada lain yang sebenarnya,
Kecuali pada yang runduk, yang mendekat, dan yang makrifat.

Sebab jika kau tahu
Setiap daun adalah dzikir yang kami tasbihkan.

 
KECAMBA

Kita semalam mengunyah kesunyian
Antara pandar dan rendam saat hijau

Di pagi kit berekor, buncit memutih
Setelah disemai kedinginan

Lalu kita di buang pada setiap mangkoko
Dan mengambang, berenang di atas kuah hangat

Disantapnya oleh guan lain
Hingga lendir semacam melumuri

Kita bertanya dari takdirku, bukan.
Aku memang harus di akhiri dijalan-jalan

Atau kita justru dari ketakutan
Dalam suara pasar yang mengecil

Atas rasa sederhana, di temani ketupat
Kita di percantik pada malam jum’at

Surabaya
 

MENGAJI LAUT

Laut itu adalah berita dari perang
Tentang gelombang yang berkejaran
Mengajarkan bunyi ajal, jerit nasib dan
takdir yang dibirukan

Maka sesekali mendayunglah ke dadanya
Apabila debur tak lagi di batin dan
puisi-puisi tak lagi asin
mampirlah, rebahkan kepalamu di atas perahuku,
kita menyanyi “olleolang”
sambil menari hingga tenggelam.

Jika hati dan tubuh sudah kita garami
Maut bukanlah apa-apa dan
sampan-sampan akan segera sandar sekali sapa
lalu, kita menjadi yang ingin sekali merasakan yang tiada.

Surabaya.
 




SAJAK LUBED TENGAH

PEREMPUAN DI ARES TENGAH[1]

Kusediakan perahu kertas di tepi waktu
agar kau gampang berlayar ke tubuhku
mumpung langit lagi kering
dan ombak masih tenang
bercakap-cakap dengan ikan
jangan takut
pungutlah jalan yang membentang di matamu

Aku tak memaksa membawamu
pada muara keabadian
tapi jangan menyesal, bila
kelak aku pergi
dan namamu tak jadi aku susun
dari jari-jari yang sempurna

Bila ingat engkau
merangkai rute-rute semalam suntuk
bulu kudukku bangun tiba-tiba
sambil berkata “aku tak ingin
bila sekejap ini patah saat melangkah
sedang matahari masih pagi
menembus cela-cela daunan yang
begitu setia menemani kau”

Sekarang, masuklah
dalam tubuhku dalam-dalam

Surabaya, 2012





SKAK!

Sudah lama aku menatap wajahmu, tuan
tapi kesengsaraan menyebut namamu
sudah tidak bisa dipungkiri lagi
berkali-kali kubuatkan semacam kiasan
tapi tak pernah ada yang pas:
dari matahari yang bersender di kursi ruang tamu
sambil memangku wajahnya
atau rembulan rebah di meja makan
di sekeliling hidangan
lilin menyala mengembalikan ingatan

Memang sulit menggambar tubuhmu
dengan warna beragam
seperti garis jalan permainan catur
yang sesekali terdengar suara sekak
lalu timbul kepanikan-kepanikan dari lawan main
dengan jalan pion yang tertatih-tatih

Maka kemarilah, tuan
duduk bersamaku
di atas bangku kayu jati
sambil bermain tebak-tebakan
dengan pertanyaan yang tak begitu rumit

Setapak demi setapak
waktu makin lama memutari jalan kita:
aku ingin menyekak kakimu dengan kuda jantan
agar terbuka rahasia yang selama ini dipendam
aku ingin menyekak kelaminmu
dengan peluncur yang runcing
supaya tahu arah jalan mana
yang bisa ditembus sampai paling kecil
aku ingin menyekak dadamu dengan benteng yang licin
biar segalanya runtuh pertahanan-pertahananmu
aku ingin menyekak kepalamu dengan setir yang gagah
untuk tidak bisa berbuat apa-apa

Lalu aku ingin menyecap airmata
dari kesalahanmu, tuan          

Surabaya, 2013

 
TEMANTEN
I.Q

Sebuah tangga yang dulu kau peluk
lebur dalam musim tangis
mengalir ke sela-sela jemariku
dengan warna bulan yang kau rindu

Dan kini engkau tersekap
di bawah lembar janur kuning
yang baunya sebatas cuma
padahal tinggal sejengkal
memulangkan kembali
ke asal mimpimu

Aku melihat airmata satu-satu
menetas dari tungku penyesalan
bersama gemuruh angin yang datang
dari sudut-sudut rumahmu
membawa kabar baru
yang tak sedih aku tunggu

Surabaya, 2012





SAJAK  MUHTAROL FAQIH

Setelah Rumah Hangus

jangan berangkat dulu
Sebelum kau hidangkan semangkok tai.
Di dapur orang-orang sibuk mempertebal kumisnya.

Baru seminggu kakekmu meninggalkan rumah
Air yang telah ia dinginkan, mendidih lagi
Bahkan terjadi kebakaran tadi malam
Seperti kutukan seekor senapan.

Wajahmu sangat cantik
make up dan pembalut, aduk dengan darammu
Rumah ini hangus, seperti toilet penuh penitipan seperma.

            Di atas meja itu, di antara lilin dan sendok
            Berhelai uban dan kelamin. Rontok .

Satu jam kemudian, kau kehilangan pintu
Ketika kursi berteriak-teriak dalam pikiranmu

Hingga kau hanya tinggal sebuah nama,”shanti”



Surabaya
 
KEKASIHKU TAK BISA TIDUR

Kekasihku tak bisa tidur. Matanya dipenuhi jalan sempit.
Ia berharap tak ada yang benar-benar datang. Meski sisa hujan
Masih menakutkan, Ia hati-hati melangkah, dan berkata: para daun,
Sebelum angin memaksamu ke laut, lalu kau bermimpi menjadi ikan;
nelayan menangkapmu, kemudian menggorengmu sore hari
Kau terhidang bersama sambel, kuah yang terlalu asin dan nasi sisa
pagi hari, di meja makan. Perut terasa kenyang. Kau pun diantar ke liang
kakus. Maka gugurlah dengan keyakinanmu sendiri.
Wahai kekasihku, Sesungguhnya yang berjatuhan di jalan itu
hanyalah tetes air, matahari akan menghapusnya sebentar lagi
dan tak ada benih akan tumbuh.



OH, AKU MULAI CEMBURU

Lihat, matahari di atas punggung perempuan itu
seperti mataku yang hati-hati melirik kecantikanmu,
pelan-pelan berjalan. Oh, rupanya kau tak sadar akan hal itu.
Pun karena jari-jarimu bertingkah nakal ke celah kutang, maka
kau sudah mulai berani membuatku cemburu. Baiklah,
sebaiknya aku berlayar. Akan aku tempuh seberapa jauh jarak
tepimu menghantuiku atau menyelam sedalam perutmu hingga
matahari tak kulihat lagi. Dari daun-daun dan batang-batang pohon,
seperti aku merangkai puisi, bentuk dan isi aku sucikan dahulu sebelum
tubuh dan ruh melawan segala arus kenakalanmu. Eh, tunggu. Ia meredup.
Perempuan itu bergeliat. Tapi kenapa kau tampak gelisah. Dan angin pun
gelisah. Seperti pengantin tak berbuah, daun-daun beserta ranting-ranting
jatuh. Aku mengintipmu dari balik cela batu-batu. merah. Darah?. aduh,
siapa lagi yang terlentang di atas perutmu itu, si nuh?, tidak mungkin, 
karena ia masih berdoa untuk anaknya. Urat tangan-tanganmu mengeras.
Di mana perempuan itu?. Mataku samar-samar melihatmu. Dingin
Menjalar, seperti mencari jalan paling rahasia, di antara lobang-lobang
Paling gelap. Ah, begitu dingin.  


2013   
 




SAJAK KHALIL TIRTA SEGARA


TEMBANG BULAN TUA

Di bulan tua aku menemukan masa silam meringkuk dalam gerai hujan
Memeluk angin yang tersedu. Nama-nama serta tanda-tanda yang lamur
Berhamburan dari jendela kamar lalu kujilat dengan ujung lidah
Rasanya pahit sementara suaraku terbata-bata dikuping malam

pandulune ki pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngomor
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon” bisik Ronggowarshito dalam tembang

Mengapa hujan tak segera reda, bila degup dada tersekap luka
Mengapa hujan terus bernyanyi, bila yang pergi tak pernah lenyap

Kuingat-ingat, kutimang-timang
Segala yang pernah terlihat dan tak terlihat lagi menjelma mumi dalam kepala 
Sekuntum mawar kuning dipatahkan angin dari tangkainya
Seperti menyeret aroma katiadaan pada musim-musim tanggal

O semerbak hujan Desember! Tangan siapa yang menjahit langit robek
Dari dusta angka-angka penanggalan. Sungguh! pada saatnya akan tiba
Di mana orang-orang tidak sibuk lagi mengucap selamat tahun baru
Melupakan kelahiran bayi, memadamkan lilin-lilin yang menyala
Di atas meja dalam pesta-pesta ulang tahun.
Juga pada saatnya akan tiba di mana orang-orang ketakutan
Menyentuh kulitnya yang keriput lalu menukar birahi dengan jalan penyerahan

O betapa pendek kaki hari dilumpuhkan matahari!
yang mendaur degup pada yang tak pasti
Dan puisi dalam sunyi telah mengamini kefanaan
Para pengembara yang selalu berdebat;
Apakah waktu bertelur atau berpinak?
Apakah waktu memanjang atau melingkar?


“Tambe ngareh tambe ngomor. Dhaun tombu deun gagghar
Oban tombu ngolok pateh. Seang are du ma` seang malem
peng malate tombu e koburan, bila enga` ka sesettong. Duh
Dimma bara` dimma temor ngaleh somor dalam badhan
Samogha`a nemmo jhalan.
Lanjhang omor lanjhang partobhatan”

Dengan rendah hati kuucapkan kepada hujan di bulan tua:
Selamat tinggal bulan-bulan buntung!
Selamat datang bulan-bulan tunggang!
Air tetap meleleh di antara daun-daun yang akan gugur ke haribaan tanah
Kenangan dan keterasingan juga meleleh di hatiku yang limbur
Menuju esok yang sunyi terang.


 
Surabaya 9 desember 2013


 
BIRUNG*

Jalan kita akan memutar
Di antara garis kurva

Dalam lingkaran
Pertemuan akan lebih terbuka
Tanpa sudut

Sebutkan nama kita satu persatu di badan yang berkubang
Sebelum nama-nama menjelma setumpuk debu

“Namaku tanah, namaku api, namaku air, namaku angin,
namaku batu, namaku kayu, namaku belerang, namaku garam,
namaku kerikil”

Memang sejak lahir kita berjarak dari nama-nama
Bolehkah kita melebur dalam satuan lubang
Anasir-anasir yang menunggal

Orang-orang yang hendak tahu menggali badan kita dengan rajang
Lalu setiap malam menyusunnya dari tanah liat dan warna peluh
Siang hari yang garang
Lelaki- lelaki  kekar lahir dari gunung memikul batu gerigi
Perempuan-perempuan penyabar lahir dari hutan menumpuk kayu bakar

“Susunlah batu-batu gunung di badanku serupa piramida,
pelan-pelan masukkan kayu bakar seukuran mulutku
lempar setengah karung garam, setengah karung belerang
karena angin selalu datang dari tiap-tiap arah
Memancing api ke permukaan. ”

Bagaimana mungkin tegak tanpa berdiri
Dari ukuran ruangannya masing-masing
Tubuh bundar kita menjadi saksi kerikil menyangga batu-batu besar
Pertemuan ini seperti  menyibak misteri seonggok negeri
Yang tak kunjung bisa menyusun rumahnya sendiri

Lalu api bertemu kayu dalam gundukan
Asap hitam mencari kelebat bayang-bayang langit
Gaung-gaung api menarikan lagu badai
Tunggu sampai sehari semalam
Batu-batu yang tersusun akan segera matang
Di dalamnya angin dan air menggumpal
Puncak batu kembali debu
Seperti tubuh yang bakal mengabu

Surabaya 09 November 2012
*birung: batu gamping atau pembakaran batu.


 
ADU MERPATI

Ke perempatan jalan kecil
Kau menuju sore dan merpati
Yang mengepak-ngepakkan sayap ketika kentungan besi dipukul
Terdengarlah bunyi—kabar bagi yang akan terbang melesat
Sebatas deru nafas sejauh jarak usia berserah

Memang dari semula kita pahami bumi suatu gelanggang
Bermain dan ber-adu. Pertaruhan dan mempertaruhkan!
Sementara siapa yang bakal memenangi pertandingan
Sebelum sore benar-benar mampus dicabik-cabik gelap?

Seekor merpati kesayangan yang pernah kau cium keningnya
Bakal kau lepas bagi musuh-musuh serta dendam yang menjalar
Dan kau menunggunya dengan dada harap-harap cemas

Bila sepakat sang pelepas segera memanjat genting rumah kusam
Sambil menggenggam merpati di tangan kanan di tangan kiri
Lalu melepaskannya ke udara membiarkan pergi untuk pulang ke sarang.
Yang cepat pulang akan membuat si tuan penaruh menepuk-nepuk dada.

Terbanglah merpati! Terbang secepat nafas masuk-keluar!
Kembalilah merpati! kembali ke dalam dirimu sendiri!
Memeluk angin basah yang bakal menghambur dari perut senja
Kembali besi dipukul-pukul dengan jumawa—ketika seekor merpati menepi
Ke sarangnya membawa surat  bagi si kalah atau si menang

Seketika semua kembali pada bunyi—dari hingar sorak menuju pelan
Petang sunyi yang menuntun kedua mata, mulut, telinga, dan hatimu
Membawa arti kekalahan dari langit yang berkerut 
Diam-diam malam merasuk dada. Terdengarlah detak hening!
Siapa yang terhempas dalam pertaruhan
Dalam tubuh tak terkalahkan?

Surabaya, 15, Desember, 2013